Ayunan

Sejujurnya, Jane udah capek banget jalan dari pintu masuk sampai ke tempat candi-camdi. Karena dia udah sering banget datang ke tempat ini, jadi daripada ngikutin temen-temennya (Juni, Johan, Adrian, Evan) yang keliling-keliling udah kayak turis beneran, Jane lebih memilih untuk duduk di atas ayunan yang terletak tidak jauh dari museum. Untung matahari siang menjelang sore itu tidak terlalu terik, jadi Jane bisa dengan santai menikmati semilir angin sambil sesekali melihat melihat kearah teman-temannya yang mulai berpencar entah kemana.

Spot kosong ayunan di sebelah Jane tiba-tiba terisi, Jane sudah bersiap untuk berdiri dan pergi dari situ kalau saja yang duduk di sebelahnya adalah orang asing, tapi ternyata orang itu adalah Fabio.

Melihat Fabio, Jane refleks mengedarkan pandangannya kesana kemari, mencari sosok Tian yang sedari tadi dia lihat bersama dengan Fabio, tapi nihil, batang hidung Tian tidak kelihatan.

“Tian lagi beli minum.”

“Oh gitu hehe, gue ga nanya sih.”

“Kelihatan kali mata lo nyariin Tian mulu dari tadi.”

“Emang iya?”

“Iya, dari pertama kita sampe di parkiran, mata lo ngeliatin Tian terus kan..”

Jane menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakamg telinga sembari tersenyum kikuk, menunjukkan kalau dia sedang malu. “Kelihatan banget ya hehe.”

“Lo daritadi ngeliatin Tian tapi nggak lo ajak ngomong atau lo samperin, kenapa?” Tanya Fabio.

Sembari mengayunkan kedua kakinya yang sengaja dia buat tidak menyentuh tanah, Jane menjawab. “Ga tau... Tian hari ini aneh, gue jadi nggak berani buat ngajak dia ngomong. Eh, lo kan tinggal bareng Tian, dia hari ini kenapa?”

Fabio mengangkat kedua bahunya “Emang Tian kenapa? Biasa aja kayaknya.”

“Mungkin ini perasaan gue aja, tapi kayaknya Tian menghindar dari gue.” Ucap Jane.

“Menghindar gimana?”

“Biasanya pagi-pagi dia udah nawarin gue buat berangkat ke kampus bareng, tapi tadi pagi pas gue chat, ternyata dia udah duluan berangkat sendiri. Chat gue di group seharian ga di bales, giliran yang lain chat di bales. Tadi juga, sebenernya gue nawarin buat semobil bareng kalian, tapi dia malah nawarin Adri. Ah tapi mungkin ini perasaan gue aja kali hahaha gue kenapa jadi curhat ke lo gini.. Jangan bilang ke Tian ya, nanti dia ilfeel lagi sama gue.”

Fabio mendengarkan kata demi kata yang diucapkan oleh Jane dengan seksama. “Lo suka banget ya sama Tian?”

Pertanyaan dari Fabio tanpa ragu dibalas dengan anggukan oleh Jane.

Fabio sedikit kaget dengan kejujuran Jane. “Lo ga tanya gue tau darimana?”

“Hmm... Emang keliatan nggak sih? Semua orang tau gue suka sama Tian.”

Fabio mulai menggerakan ayunan tempat mereka duduk “Emang keliatan sih, tapi gue masih kaget denger lo langsung ngaku.”

“Gue ga pinter nyembunyiin perasaan, apalagi perasaan suka, jadi sekalian aja gue umbar. Gue seneng nunjukkin afeksi ke orang yang gue suka. Gue mau orang yang gue suka itu merasa dicintai.”

“Tujuan lo emang kedengeran mulia banget, tapi pasti lo juga mengharapkan hal yang sama kan dari orang yang lo suka?” Tanya Fabio.

Jane menangguk. “Not gonna lie, yes.”

“Kalau dari orang yang lo suka sekarang, lo udah merasa ada balesannya belum?”

Jane terdiam sejenak memikirkan pertanyaan Fabio. Kalau ngomongin Tian, Jane nggak tau ya, memang sebulan terakhir mereka jadi semakin dekat, tapi kalau mau dibilang perasaannya sudah terbalas atau belum, afeksi yang dia kasih ke Tian dari jaman Maba sampai sekarang ya jelas nggak sebanding dengan apa yang Tian kasih ke dia, di tambah lagi hari ini tingkah Tian agak aneh. Jane jadi kepikiran.

“Lama juga lo mikirnya.. pasti jawabannya belum?” Tanya Fabio.

Jane diem aja.

“Jane, saran dari gue.. Jangan terlalu berharap sama Tian. Lo ga akan bisa dapetin balesan yang lo mau dari Tian.”

Tentu saja kata-kata dari Fabio bikin Jane pening. Maksudnya dia disuruh menyerah sama Tian apa gimana sih? Disaat akhirnya dia sama Tian bisa mulai dekat?

“Gue nggak tau kenapa lo berani ngasih gue saran padahal kita baru kenalan kemarin, gue juga nggak tau kenapa gue jadi curhat panjang lebar gini sama lo, apapaun alasannya gue masih belum ada rencana buat berhenti ngejar Tian.” Ucap Jane.

“Lo terlalu baik buat Tian.”

“Gue nggak merasa demikian.”

“Jane lo nggak tau apa-apa tentang Tian.”

“Lo juga nggak tau apa-apa tentang gue Fabio, kita literally baru kenal kemaren”

“Lo tau nggak kenapa Tian menghindar dari lo hari ini, padahal kemarin kalian baik-baik aja?”

“Gue-”

Belum selesai Jane berbicara, ada tangan yang tiba-tiba menariknya berdiri dari ayunan tersebut, dan membawanya menjauh, meninggalkan Fabio yang hanya bisa memandang dengan heran.

“Tian?”

Panggilan dari Jane membuat Tian kemudian berhenti berjalan dan melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Jane.

“Kamu kenapa narik aku?” Tanya Jane sambil menatap bingung pada Tian.

Tian juga nampak sama bingungnya. “Temenin gue beli minum.” Ucap Tian akhirnya, lupa kalau di tangannya dia sedang memegang sekantong penuh botol air minum.

Jane jadi semakin heran, kemudian menunjuk ke arah kantongan air tersebut. “Itu apa.”

Tian panik. “Maksud gue temenin beli eskrim? Lo mau ga?”

“Aku udah makan eskrim tadi banyak banget di mobil.”

Tian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan tangannya yang bebas. “Oh.. yaudah.”

“Kamu tiba-tiba narik aku kenapa? Ga mungkin cuma mau ngajak beli minum ato makan es krim.” Todong Jane.

“Lo sama Fabio ngomongin apa aja?” Tanya Tian pada akhirnya.

“Kenapa kamu mau tau?”

“Dia nggak ngomong macam-macam tentang gue kan.”

“Oh... kamu takut Fabio ngomong macam-macam ke aku tentang kamu?”

“Ga gitu..”

“Kamu aneh banget Tian, seharian nyuekin aku terus tiba-tiba begini.”

Tian menelan ludah kasar. Aduh salah nih dia. “Sori gue ga jelas banget, lupain aja pertanyaan gue barusan. Lo boleh balik lagi ke Fabio.”

Setelah ngomong gitu Tian berbalik dan meninggalkan Jane yang hanya bisa diam melongo.

Ini gue harus marah atau harus overthinking sih. Pikir Jane.