Mutlak

“Wes tak bilangin toh, ojok kebut-kebutan! Aku wes ga ngurus pokoke marengene aku pulang!” Ancam Xena sambil marah-marah di depan Ben, yang lagi terbaring penuh luka di atas kasur rumah sakit. (Aku udah ga ngurus pokoknya, habis ini aku pulang)

Ben meringis “Yo pulang o sana!” (Ya pulang aja sana)

Balik ngamcem ceritanya, soalnya dia tau kembarannya itu ga akan tega ninggalin dirinya yang penuh luka sendirian. Ga sendirian sih, ada temen-temennya, tapi lagi pada nungguin di luar.

Bener, Xena jadi ragu buat pulang, soalnya dia liat Ben sakit tuh jadi ikutan sakit juga. Koneksi anak kembar. Paling terasa sakit di hati sih, soalnya khawatir banget liat Ben penuh luka, tapi terlalu gengsi buat nunjukin, jadinya marah-marah aja. Ben paham kok.

“Loh, ga jadi pulang?” Ben meledek Xena yang kini malah duduk di sofa yang tersedia di dalam ruang inap rumah sakit tersebut.

Iya, setelah masuk UGD tadi dan di obati luka-lukanya, Ben minta dipindahin ke ruang rawat inap, biar lebih nyaman aja sih. Untungnya, Ben ga kenapa-kenapa, banyak luka khususnya bagian tangan kanannya, tapi tidak ada yang serius. Paling serius sih, kondisi Lami saat ini yang sudah bisa dipastikan lecet parah.

“Takut pulang, nanti aku malah yang diamuki Papa.” Ujar Xena bete.

“Kamu bilang ke papa?” Tanya Ben penasaran.

“Belum lah, aku ga berani ngo-” Omongan xena terhenti akibat bunyi panggilan masuk dari hp nya. Mata Xena melotot melihat nama penelpon.

“Siapa?” Tanya Ben, lebih penasaran.

“Papa.”


Lagi-lagi Xena berakhir sendirian di ruang kerja papanya, mau ngajak Ben tapi anaknya sok-sokan ga bisa jalan, padahal yang luka tangannya.

Xena diam-diam memperhatikan Papanya yang lagi telponan dengan raut wajah yang kelihatan sangat menyeramkan saat ini.

Xena tau, papanya pasti lagi pusing ngurusin bunderan yang ditabrak sama Ben. Untung aja ga ada korban jiwa sih, Xena ga bisa bayangin bakal semarah apa papanya sama mereka kalau sampai ada korban Jiwa.

Saat telpon dimatikan, Papa Tedja langsung menuju ke arah Xena dengan raut wajah yang belum juga melembut. Xena tegang banget.

“Semua udah Papa urus, dua minggu lagi kamu dan Ben berangkat ke Jogja.”

“Pa..”

“Uang jajan kalian akan papa kurangi, bibi dan pak yanto ga boleh ikut.”

“Papa! Uang jajan dikurangi, Oke. Aku ga masalah. Tapi Bibi kenapa ga boleh ikut? Terus aku sama Ben yang ngurusin siapa? Makan kita gimana? Yang nyuci baju aku siapa? Yang beresin rumah?–” Xena udah panik banget.

“Itu yang papa mau, kalian belajar mandiri. Try to survive.”

“Pa.. Aku-”

“Abigail Xena! Keputusan Papa mutlak!”

Kata 'mutlak' lah yang menjadi kunci dari semua omongan yang diucapkan oleh papanya. Kalau kata itu sudah keluar, berarti tidak ada yang bisa mengganggu gugat atau bahkan membantah lagi.