The Truth
“Dingin ya?” Tanya Tian, tanpa sedikit pun memandang kearah Jane.
“Iya, dingin..”
“Mau beli yang anget-anget dulu nggak?” Tanya Tian lagi, kali ini akhirnya dia melihat kearah Jane hanya untuk mendapati ekspresi aneh dari wajah Jane.
“Kenapa, Jane?” Tian nanya lagi. Jane cuma menghembuskan nafas nya.
“Ga, Tian. Aku masih kenyang banget, kalau kamu mau, kamu aja yang beli.”
Tian mengangguk, “Oke bentar ya..” dan turun dari mobil, meninggalkan Jane sendirian dengan perasaan yang begitu nano-nano.
Jane bingung harus senang apa gimana. Jujur dia gugup banget, apa Tian bakal nembak dia di tempat ini? di bukit bintang? Tapi melihat perubahan sifat Tian yang tiba-tiba sepanjang perjalanan kesini tadi, Jane jadi ragu lagi.
'Tapi dia ngasih bunga..'
'Terus kenapa diem aja daritadi?'
'Oh... Mungkin dia grogi..'
Sejatinya Jane ini adalah anak yang selalu berusaha positive thinking pada apapun persoalan yang dia hadapi. Cuma baru akhir-akhir ini dia sering dibuat overthinking karena Tian, tapi kan ujung-ujungnya semua kembali membaik. Makanya, malam itu Jane memutuskan untuk menepis seluruh pikiran negatifnya.
“Di luar dingin banget.” Tian masuk sambil membawa dua cup kopi panas yang entah dia beli dari mana. “Nih, karena lo udah makan banyak tadi, gapapa kan minum kopi?”
Jane tersenyum lalu mengambil cup yang telah disodorkan oleh Tian. “Padahal aku bilang ga mau tadi,”
“Ga ada yang jual caramel macchiato hangat, jadi sorry.. Gue cuma bisa beliin kopi susu biasa” Ujar Tian.
Ternyata Tian ingat kopi kesukaannya.
“Nah.. it's okay.. Kopi susu pun rasa caramel macchiato kalo minumnya bareng Tian,” GOMBALL.
Tian terkekeh mendengar nya. Lowkey jadi sedih juga sih. Mengingat apa yang akan dia katakan pada Jane setelah ini mungkin bisa membuat dia ga bisa lagi mendengarkan gombalan serupa dari mulut Jane.
Jangankan gombalan, senyum saja Tian yakin akan sangat sulit.
“Jane,” Dengan suara beratnya, Tian memanggil Jane. Tiba-tiba semuanya jadi serius.
Jane langsung deg-degan banget. Posisinya dia sama Tian sekarang lagi duduk hadap-hadapan di dalam mobil.
“Ya?”
“Voucher free hug yang lo kasih ke gue waktu itu, boleh gue pake sekarang, nggak?”
Sangat tidak terduga.
Tapi Jane hanya mengangguk dan langsung membentangkan kedua tangannya, menyambut Tian kedalam pelukan hangatnya.
“Jane, i'm so sorry...” Bisik Tian di sela pelukan mereka. Jane bisa mendengarnya dengan jelas, tapi dia tidak mau terlalu mengambil pusing omongan itu. Tian selalu minta maaf.
Setelah beberapa detik pelukan itupun dilepas oleh Tian.
Kali ini ekspresi wajahnya menjadi sedih. Jane ga melihat itu, karena pandangan Jane terdistract oleh banyak nya bintang di langit yang dia lihat dari kaca depan mobil.
“Ihhh bintangnya banyak banget!!!!!” Teriak Jane antusias, sambil mencondongkan badannya kedepan untuk melihat lebih jelas.
Tian hanya bisa menghela nafas dan kembali bersandar di tempat duduknya. Bintang nya memang terlihat sangat banyak, tapi dia ga bisa menikmati pemandangan indah itu sekarang, dia harus mengatakan semuanya pada Jane.
“Jane..” Panggilnya pelan,
Jane hanya menoleh sebentar lalu “Liat deh Tian!!! Banyak banget bintangnya!”
“Jane..”
“Aku baru pertama kali liat bintang sebanyak ini di langit.. Cantik banget ya-”
“I have a girlfriend,”
Diam. Jane yang lagi teriak antusias tiba-tiba diam.
“Jane?” Panggil Tian lagi pada Jane yang masih diam mematung.
“Ya?” Jane menoleh pada Tian. Wajahnya yang tadi penuh dengan senyum sekarang tidak memiliki ekspresi apa-apa.
“I have a girlfriend, Jane.”
“Maksudnya?”
“Gue punya pacar, gue selama ini punya pacar,”
Jane terdiam, memandangi Tian dengan ekspresi yang sangat asing di mata Tian.
“Lo baru aja kasih tau gue, kalo lo udah punya pacar?”
'Lo-Gue' yang terdengar begitu asing di telinga Tian.
“I'm sorry..”
”...”
“Jane, I'm so sorry..”
Jane diem aja, sambil melihat ke depan. Bener-bener otak dia blank dan ga tau mau ngomong apa lagi. Dadanya tiba-tiba sakit banget.
“Sejak kapan?” Tanya Jane. Masih enggan menatap Tian.
“Gue pacaran? Sejak gue SMA,” Jawab Tian pelan.
Jane kaget, tapi dia ga mau menunjukkannya.
“So.. i am the mistress here..”
“Lo bukan selingkuhan Jane, lo temen gue,”
“That hurts more, u know..”
“Sorry..”
“Pacar lo tau? Kalo lo deket sama gue?” Tanya Jane.
Tian mengangguk.
“Soalnya lo bilang ke dia kalo gue cuma temen, kan?”
Tian diem aja.
Sekarang Jane justru ketawa. Tian kaget liatnya.
“Padahal gue berharap hari ini gue jadi pacar lo, eh ternyata malah tau lo punya pacar haha.” Jane beneran ketawa, kayak orang yang lagi bercanda. Tian jadi takut, padahal dia udah bersiap kalau-kalau Jane bakal nangis. Ini diluar dugaan banget.
“Berarti pelukan tadi..”
“Last hug..”
“Terus bunga nya..?” Jane memandangi sebuket bunga yang daritadi terletak rapih dipangkuannya.
“Sweet Pea.. Artinya thanks for all the good times.” Ujar Tian.
Jane kaget beneran deh. Dadanya udah sesek banget tapi dia malah ketawa.
“You've come prepared, huh? Dan gue dengan bodoh nya deg-degan karena gue pikir gue bakal di tembak hari ini hahaha.”
“Jane, i didn't mean to–”
“Iya gue ngerti kok, lo selama ini hanya mencoba bersikap baik ke gue.. Emang gue nya aja yang ke geeran haha. Gue suka banget sama lo makanya lo baikin sedikit aja gue udah geer banget. Konyol.” Ketawa lagi.
Tian bingung, ga mungkin kan dia ikut ketawa.
Tiba-tiba Jane berhenti ketawa. Tatapan nya kosong.
“I'ts time for me to really let you go ya..”
“We could still be friend, Jane“
“Im afraid i can't, Tian. I've spent 2 years chasing for your love, your attention, and u want me to befriend with u? hahaha.. Dari awal gue temenan sama lo pun gara-gara gue suka sama lo. Never in my life, gue melihat lo sebagai seorang teman.”